Sejarah Singkat Imam Al Baihaqi
Ditulis
oleh penulis di/pada September 28th, 2007 Imam Al
Baihaqi, yang bernama lengkap Imam Al-Hafith Al-Mutaqin Abu Bakr Ahmed ibn
Al-Hussein ibn Ali ibn Musa Al Khusrujardi Al-Baihaqi, adalah seorang ulama
besar dari Khurasan (desa kecil di pinggiran kota Baihaq) dan penulis banyak
buku terkenal. Masa pendidikannya dijalani bersama sejumlah ulama terkenal dari
berbagai ember, di antaranya Iman Abul Hassan Muhammed ibn Al-Hussein Al Alawi,
Abu Tahir Al-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, penulis kitab ―Al Mustadrik of Sahih
Muslim and Sahih Al-Bukhari‖, Abu Abdur-Rahman Al-Sulami, Abu Bakr ibn Furik, Abu
Ali Al-Ruthabari of Khusran, Halal ibn Muhammed Al-Hafaar, dan Ibn Busran. Para
ulama itu tinggal di berbagai tempat terpencar. Oleh karenanya, Imam Baihaqi
harus menempuh jarak cukup jauh dan menghabiskan banyak waktu untuk bisa
bermajelis dengan mereka. Namun, semua itu dijalani dengan senang hati, demi
memuaskan dahaga batinnya terhadap ilmu Islam. As-Sabki menyatakan: ―Imam
Baihaqi merupakan satu di antara sekian banyak imam terkemuka dan ember petunjuk
bagi umat Muslim. Dialah pula yang sering kita sebut sebagai ‗Tali Allah‘ dan
memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fikih serta penghapal
hadits.‖ Abdul-Ghaffar Al-Farsi Al-Naisabouri dalam bukunya
―Thail Tareekh Naisabouri‖: Abu Bakr Al-Baihaqi Al Hafith, Al Usuli Din,
menghabiskan waktunya untuk mempelajari beragam ilmu agama dan ilmu pengetahuan
lainnya. Dia belajar ilmu aqidah dan bepergian ke Irak serta Hijaz (Arab Saudi)
kemudian banyak menulis buku. Imam Baihaqi juga mengumpulkan Hadits-hadits dari
beragam sumber terpercaya. Pemimpin Islam memintanya pindah dari Nihiya ke
Naisabor untuk tujuan mendengarkan penjelasannya langsung dan mengadakan bedah
buku. Maka di tahun 441, para pemimpin Islam itu membentuk sebuah majelis guna
mendengarkan penjelasan mengenai buku ‗Al Ma‘rifa‘. Banyak imam terkemuka turut
hadir. Imam Baihaqi hidup ketika kekacauan sedang marak di berbagai negeri
Islam. Saat itu kaum muslim terpecah-belah berdasarkan politik, fikih, dan
pemikiran. Antara kelompok yang satu dengan yang lain berusaha saling
menyalahkan dan menjatuhkan, sehingga mempermudah musuh dari luar, yakni bangsa
Romawi, untuk menceraiberaikan mereka. Dalam masa krisis ini, Imam Baihaqi hadir
sebagai pribadi yang berkomitmen terhadap ajaran agama. Dia memberikan teladan
bagaimana seharusnya menerjemahkan ajaran Islam dalam perilaku keseharian.
Sementara itu, dalam Wafiyatul A‘yam, Ibnu Khalkan menulis, ―Dia hidup zuhud,
banyak beribadah, wara‘, dan mencontoh para salafus shalih.‖ Beliau terkenal sebagai seorang yang memiliki kecintaan
besar terhadap hadits dan fikih. Dari situlah kemudian Imam Baihaqi ember
sebagai pakar ilmu hadits dan fikih. Setelah sekian lama menuntut ilmu kepada
para ulama senior di berbagai negeri Islam, Imam Baihaqi kembali lagi ke tempat
asalnya, kota Baihaq. Di sana, dia mulai menyebarkan berbagai ilmu yang telah
didapatnya selama mengembara ke berbagai negeri Islam. Ia mulai banyak mengajar.
Selain mengajar, dia juga aktif menulis buku. Dia termasuk dalam deretan para
penulis buku yang produktif. Diperkirakan, buku-buku tulisannya mencapai seribu
jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari akidah, hadits, fikih,
hingga tarikh. Banyak ulama yang hadir lebih kemudian, yang mengapresiasi
karya-karyanya itu. Hal itu lantaran pembahasannya yang demikian luas dan
mendalam. Meski dipandang sebagai ahli hadits, namun banyak kalangan menilai
Baihaqi tidak cukup mengenal karya-karya hadits dari Tirmizi, Nasa‘I, dan Ibn
Majah. Dia juga tidak pernah berjumpa dengan buku hadits atau Masnad Ahmad bin
Hanbal (Imam Hambali). Dia menggunakan Mustadrak al-Hakim karya Imam al-Hakim
secara bebas. Menurut ad-Dahabi, seorang ulama hadits, kajian Baihaqi dalam
hadits tidak begitu besar, namun beliau mahir meriwayatkan hadits karena
benar-benar mengetahui sub-sub bagian hadits dan para tokohnya yang telah muncul
dalam isnad-isnad (sandaran atau rangkaian perawi hadits). Di antara karya-karya
Baihaqi, Kitab as-Sunnan al-Kubra yang terbit di Hyderabat, India, 10 jilid
tahun 1344-1355, menjadi karya paling terkenal. Buku ini pernah mendapat
penghargaan tertinggi. Dari pernyataan as-Subki, ahli fikih, usul fikih serta
hadits, tidak ada yang lebih baik dari kitab ini, baik dalam penyesuaian
susunannya maupun mutunya. Dalam karya tersebut ada catatan-catatan yang selalu
ditambahkan mengenai nilai-nilai atau hal lainnya, seperti hadits-hadits dan
para ahli hadits. Selain itu, setiap jilid cetakan Hyderabat itu memuat indeks
yang berharga mengenai tokoh-tokoh dari tiga generasi pertama ahli-ahli hadits
yang dijumpai dengan disertai petunjuk periwayatannya. Itulah di antara
sumbangsih dan peninggalan berharga dari Imam Baihaqi. Dia mewariskan
ilmu-ilmunya untuk ditanamkan di dada para muridnya. Di samping telah pula
mengabadikannya ke dalam berbagai bentuk karya tulis yang hingga sekarang pun
tidak usai-usai juga dikaji orang. Imam terkemuka ini meninggal dunia di
Nisabur, Iran, tanggal 10 Jumadilawal 458 H (9 April 1066). Dia lantas dibawa ke
tanah kelahirannya dan dimakamkan di sana. Penduduk kota Baihaq berpendapat,
bahwa kota merekalah yang lebih patut sebagai tempat peristirahatan terakhir
seorang pecinta hadits dan fikih, seperti Imam Baihaqi. Sejumlah buku penting
lain telah menjadi peninggalannya yang tidak ternilai. Antara lain buku
―As-Sunnan Al Kubra‖, ―Sheub Al Iman‖, ―Tha La‘il An Nabuwwa‖, ―Al Asma wa As Sifat‖, dan ―Ma‘rifat As Sunnan cal Al Athaar‖.
Sumber:
http://www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=DetailArtikel&artid=162
Komentar
Posting Komentar